Post by raider on Feb 8, 2010 10:31:19 GMT 7
Sekadar menghangatkan diskusi, berikut artikel terkait rencana pembelian pesawat Kepresidenan RI-1:
VIVAnews – INTERIOR Boeing 737-500 itu bernuansa biru dengan dua ruang. Pertama, satu bilik buat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Keduanya menempati kursi paling depan. Di belakang berjejer tempat duduk para menteri.
Berbatas tirai, ruang kedua diisi staf khusus presiden, sekretaris pribadi, pasukan pengaman presiden, dan wartawan. Untuk bilik kedua ini, tata ruang sama persis dengan pesawat komersial Garuda Indonesia.
Itulah pesawat presiden untuk terbang di dalam negeri, dan ke negara-negara Asean. Dari luar, tak tampak burung besi itu dipakai oleh orang nomor satu di republik ini. Logo Garuda Indonesia masih melekat. Bedanya, ada lambang negara: bendera merah putih dan burung garuda.
Pesawat yang digunakan memang milik Garuda Indonesia. “Perusahaan melakukan sejumlah konfigurasi sebelum pesawat digunakan untuk menunjang perjalanan dinas presiden,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar kepada Syahid Latif dari VIVAnews. Jadi jika sedang tak “berdinas”, pesawat itu balik lagi ke tata ruang normal untuk melayani penerbangan regular.
Dari Garuda Indonesia, presiden menyewa dua pesawat. Selain B 737-500, pesawat lain adalah Air Bus A330, yang dipakai melawat ke negara di luar Asean. Misalnya ke Brussel, Paris, Berlin, atau ke Kopenhagen pada Desember 2009. Selain Garuda, pemerintah juga menyewa RJ85 dari Pelita Air Service. Kadang-kadang, SBY naik pesawat uzur TNI-AU, yaitu Boeing 737-200 dan Foker 28.
Nah, biaya untuk perjalanan presiden dan wakil presiden dengan pesawat carteran lumayan tinggi. “Biayanya melalui pola carter dengan perhitungan bisnis,” kata Emirsyah.
Karena presiden rajin melakukan perjalanan, maka anggaran lawatan dinas terus meningkat. Misalnya pada 2006, Rp 75 miliar, pada 2007 melonjak jadi Rp. 175 miliar, kemudian pada 2009 naik lagi Rp 180 miliar.
Itulah sebabnya, muncul ide untuk membeli pesawat khusus itu. "Lebih efisien jika membeli pesawat,” kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Mari kita tengok harga Boeing 737-800 yang didesain untuk kepresidenan, yaitu US$ 85,4 juta. Menurut hitungan Sudi, biaya sewa pesawat selama lima tahun sudah cukup untuk membelinya. “Bahkan ada selisih Rp 100 miliar,” katanya.
Ini sebetulnya bukan ide baru. Gagasan itu sempat muncul awal pemerintahan SBY jilid satu, pada 2004. Waktu itu, yang menjabat Menteri Sekretaris Negara adalah Yusril Ihza Mahendra. Tapi pesawat tak jadi dibeli, meskipun Yusril pernah memakai hitungan seperti Sudi. Soalnya, kata Yusril, begitu pesawat dibeli, otomatis muncul konsekuensi biaya operasional. Hitungan Yusril waktu itu mencapai US$ 8 juta.
Artinya ada biaya tambahan sekitar Rp 80 miliar. Ongkos itu harus dikali lima tahun, dan totalnya Rp 400 miliar. Jadi, dalam lima tahun itu tidak ada kelebihan anggaran Rp 100 miliar, melainkan perlu tambahan Rp 300 miliar lagi untuk biaya operasional pesawat.
Setelah Menteri Yusril memencet kalkulator waktu itu, mimpi membeli pesawat buat presiden pun lenyap.
***
GAGASAN membeli pesawat kepresidenan terbetik lagi pada 2006. Misalkan, pada 10 Oktober 2006, ada rapat pembahasan Rincian Anggaran Kementerian/Lembaga untuk APBN 2007 antara Komisi II (Komisi Anggaran) DPR dan Sekretariat Negara (Setneg). Soal pembelian pesawat itu dibahas berkali-kali. Setneg menyampaikan pertimbangan pengadaan pesawat VVIP itu dengan cara sewa dan sewa beli.
Dalam dokumen yang diserahkan ke Komisi II, Setneg cenderung mengusulkan sewa beli ketimbang opsi sewa. Soalnya, harganya tidak jauh berbeda. Dalam dokumen, disebutkan biaya per tahun sewa US$ 11,6 juta, sedangkan sewa-beli US$ 10,2 juta. Dalam RUU APBN 2006, biaya operasional, perawatan, dan carter pesawat kepresidenan Rp 50 miliar, wakil presiden Rp 25 miliar.
“Waktu itu, saya memilih opsi membeli saja,” kata Priyo Budi Santoso, mantan Wakil Ketua Komisi II yang kini adalah Wakil Ketua DPR. “Ini bukan foya-foya, tapi efesiensi dan kewibawaan.” Memang, selama republik berdiri, Indonesia belum pernah punya pesawat kepresidenan (Lihat Burung Besi Istana). Kalau melawat ke luar negeri, presiden selalu pakai pesawat sewa.
Hal itu lalu menjadi pertimbangan para anggota fraksi, dan mereka sepakat membeli burung besi buat perjalanan presiden. Tapi, para anggota Dewan hanya memberikan pertimbangan. Keputusan akhir ada di tangan Presiden SBY.
Soal harus beli pesawat, sebenarnya tak hanya urusan wibawa. Ada alasan lain, yang datang dari bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada Juni 2006, Kalla mewacanakan perlunya pesawat khusus kepresidenan diganti. Ide itu disuarakan setelah pesawat Fokker 28 TNI AU, yang ditumpanginya mengalami kerusakan pada kaca kokpit.
Wacana itu lalu bersambut lebih setengah tahun kemudian, pada rapat Setneg dan Komisi II DPR 6 Februari 2007. Ketua Komisi II, EE Mangindaan, bersama Priyo, meminta pemerintah segera membeli pesawat kepresidenan. Apalagi pada 2007, anggaran sewa pesawat kepresidenan melonjak menjadi Rp 175 miliar. “Presiden kan harus punya pesawat, karena ini kan di sewa, kan sayang, sedangkan anggarannya sama, sekian tahun kita memiliki pesawat sendiri. Itu saja,” kata Mangindaan yang kini adalah Menteri PAN kepada VIVAnews.
Namun waktu itu Yusril menolaknya. "Kalau beli sih kita setuju-setuju saja tapi kita belum punya anggaran untuk itu," katanya waktu itu. Yusril kembali mengemukakan alasan biaya operasional yang mencapai US$ 8 juta,atau sekitar Rp 80 miliar per tahun.
Lagi pula kondisi negara waktu itu tak tepat beli pesawat. "Nanti ada yang bilang rakyat kebanjiran kok presiden beli pesawat," katanya kepada wartawan waktu itu. Rapat berakhir dengan kesimpulan, Komisi II mendukung menyewa pesawat khusus. Ada catatan tambahan: bila keuangan memungkinkan, maka diusulkan membeli pesawat kepresidenan.
Dua tahun kemudian, ide beli pesawat buat presiden muncul lagi saat Hatta Radjasa menjabat Menteri Sekretaris Negara. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada Senin 1 Juni 2009, Hatta menyampaikan dilema membeli pesawat. “Di satu sisi akan menuai gejolak, di sisi lain biaya sewa cukup buat beli,” katanya. Karena itu, pagu anggaran sewa akan digunakan untuk membeli pesawat. Tapi anggaran itu tampaknya belum menyinggung biaya lain: perawatan, pengelolaan, awak pesawat, dan hangar.
Belakangan, ide itu meluncur lagi. Dua bulan lalu, ada rapat dihadiri Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Perhubungan, Direktur Utama Garuda dan Kepala Staf Angkatan Udara. Mereka membahas pesawat mana yang cocok buat kondisi Indonesia.
Memang, ada diskusi tentang model yang dipakai negara lain. Tapi, tak jelas, apakah dalam rapat itu terlintas pengalaman Singapura. Perdana Menteri negeri jiran yang kaya itu, ternyata lebih suka pakai pesawat sewa ketimbang membeli.
Pilihan justru jatuh pada model yang digunakan Presiden Afrika Selatan. Pesawat yang dipilih adalah jenis Boeing 737-800 NG, spek yang dipakai tak lain dari jenis BBJ (Boeing Bussines Jet). Harganya US$ 72 juta. Belakangan, Sudi Silalahi menyebutnya US$ 85,4 juta. Ini harga untuk pesawat dengan total interior kepresidenan. Adapun pesawat sama edisi standar berharga US$ 52-55 juta.
Pemerintah rupanya sudah berkontak dengan Boeing. Pabrik pesawat milik Amerika itu melakukan penawaran khusus. Dikatakan, ada satu pesawat Boeing yang sudah siap pakai. Ini pesawat pesanan negara lain, yang pembeliannya tertunda. Boeing bisa mengalihkan pesawat itu ke Indonesia asal membayar panjar Rp 200 miliar.
Itulah sebabnya, dalam rapat dengan Komisi II DPR pada 3 November 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani minta dewan menyetujui uang panjar pembelian Boeing senilai Rp 200 miliar. Rencananya pembelian pesawat ini akan terwujud pada 2011. “Kami menyetujuinya,” kata salah seorang anggota Komisi Anggaran, Harry Azhar Azis, yang juga Ketua Badan Anggaran.
***
MUNGKIN karena digoyang angin perkara Bank Century, ide membeli pesawat pada 2010 ini lalu menjadi tak tentu arah. Harry Azis yang dulunya setuju, kini pun mengeluh. Permintaan anggaran oleh Sri Mulyani itu disebutkan tanpa rincian detail pembelian pesawat. “Terus terang, waktu itu pembicaraan kurang begitu jelas. Tak transparan,” kata politisi Partai Golkar ini.
Dari soal kebutuhan, soal pembelian pesawat bisa beralih ke isu politik. Apakah rencana itu akan kembali lolos di DPR? “Segala kemungkinan bisa terjadi,” kata Harry. “Beberapa fraksi sudah menyatakan menolak, atau minimal menunda pembelian pesawat itu.”
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, mengakui bahwa DPR periode 2004-2009 dia sepakat dengan pembelian pesawat kepresidenan. “Meski disetujui, tetap bisa dibatalkan. Ini uji sensitifitas. Kalau DPR merasa tak lagi sesuai kemudian di-delete, sah-sah saja,” katanya.
Apalagi, kata dia, pembelian pesawat kepresidenan juga belum dilakukan. Kabar dari Setneg, panjar Rp 200 miliar itu belum jatuh ke tangan Boeing. Sedangkan Fraksi Hanura secara tegas menolak pembelian pesawat itu. “Di satu sisi rakyat masih banyak yang miskin, presidennya malah beli pesawat terbang,” kata Miryam F. Hariano, politisi Hanura yang juga anggota Komisi Anggaran.
Tarik ulur di DPR ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani agak gemas. Dia minta semua pihak harus terbuka. “Nggak usah saling lepas tangan, pada bingung dan ketakutan. Jangan sampai membingungkan. Sudah disetujui, lalu ketika hendak dijalankan kok tak setuju lagi,” katanya. Departemen Keuangan sudah menyediakan uangnya. “Setneg tinggal mengeksekusinya saja.”
VIVAnews – INTERIOR Boeing 737-500 itu bernuansa biru dengan dua ruang. Pertama, satu bilik buat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Keduanya menempati kursi paling depan. Di belakang berjejer tempat duduk para menteri.
Berbatas tirai, ruang kedua diisi staf khusus presiden, sekretaris pribadi, pasukan pengaman presiden, dan wartawan. Untuk bilik kedua ini, tata ruang sama persis dengan pesawat komersial Garuda Indonesia.
Itulah pesawat presiden untuk terbang di dalam negeri, dan ke negara-negara Asean. Dari luar, tak tampak burung besi itu dipakai oleh orang nomor satu di republik ini. Logo Garuda Indonesia masih melekat. Bedanya, ada lambang negara: bendera merah putih dan burung garuda.
Pesawat yang digunakan memang milik Garuda Indonesia. “Perusahaan melakukan sejumlah konfigurasi sebelum pesawat digunakan untuk menunjang perjalanan dinas presiden,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar kepada Syahid Latif dari VIVAnews. Jadi jika sedang tak “berdinas”, pesawat itu balik lagi ke tata ruang normal untuk melayani penerbangan regular.
Dari Garuda Indonesia, presiden menyewa dua pesawat. Selain B 737-500, pesawat lain adalah Air Bus A330, yang dipakai melawat ke negara di luar Asean. Misalnya ke Brussel, Paris, Berlin, atau ke Kopenhagen pada Desember 2009. Selain Garuda, pemerintah juga menyewa RJ85 dari Pelita Air Service. Kadang-kadang, SBY naik pesawat uzur TNI-AU, yaitu Boeing 737-200 dan Foker 28.
Nah, biaya untuk perjalanan presiden dan wakil presiden dengan pesawat carteran lumayan tinggi. “Biayanya melalui pola carter dengan perhitungan bisnis,” kata Emirsyah.
Karena presiden rajin melakukan perjalanan, maka anggaran lawatan dinas terus meningkat. Misalnya pada 2006, Rp 75 miliar, pada 2007 melonjak jadi Rp. 175 miliar, kemudian pada 2009 naik lagi Rp 180 miliar.
Itulah sebabnya, muncul ide untuk membeli pesawat khusus itu. "Lebih efisien jika membeli pesawat,” kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Mari kita tengok harga Boeing 737-800 yang didesain untuk kepresidenan, yaitu US$ 85,4 juta. Menurut hitungan Sudi, biaya sewa pesawat selama lima tahun sudah cukup untuk membelinya. “Bahkan ada selisih Rp 100 miliar,” katanya.
Ini sebetulnya bukan ide baru. Gagasan itu sempat muncul awal pemerintahan SBY jilid satu, pada 2004. Waktu itu, yang menjabat Menteri Sekretaris Negara adalah Yusril Ihza Mahendra. Tapi pesawat tak jadi dibeli, meskipun Yusril pernah memakai hitungan seperti Sudi. Soalnya, kata Yusril, begitu pesawat dibeli, otomatis muncul konsekuensi biaya operasional. Hitungan Yusril waktu itu mencapai US$ 8 juta.
Artinya ada biaya tambahan sekitar Rp 80 miliar. Ongkos itu harus dikali lima tahun, dan totalnya Rp 400 miliar. Jadi, dalam lima tahun itu tidak ada kelebihan anggaran Rp 100 miliar, melainkan perlu tambahan Rp 300 miliar lagi untuk biaya operasional pesawat.
Setelah Menteri Yusril memencet kalkulator waktu itu, mimpi membeli pesawat buat presiden pun lenyap.
***
GAGASAN membeli pesawat kepresidenan terbetik lagi pada 2006. Misalkan, pada 10 Oktober 2006, ada rapat pembahasan Rincian Anggaran Kementerian/Lembaga untuk APBN 2007 antara Komisi II (Komisi Anggaran) DPR dan Sekretariat Negara (Setneg). Soal pembelian pesawat itu dibahas berkali-kali. Setneg menyampaikan pertimbangan pengadaan pesawat VVIP itu dengan cara sewa dan sewa beli.
Dalam dokumen yang diserahkan ke Komisi II, Setneg cenderung mengusulkan sewa beli ketimbang opsi sewa. Soalnya, harganya tidak jauh berbeda. Dalam dokumen, disebutkan biaya per tahun sewa US$ 11,6 juta, sedangkan sewa-beli US$ 10,2 juta. Dalam RUU APBN 2006, biaya operasional, perawatan, dan carter pesawat kepresidenan Rp 50 miliar, wakil presiden Rp 25 miliar.
“Waktu itu, saya memilih opsi membeli saja,” kata Priyo Budi Santoso, mantan Wakil Ketua Komisi II yang kini adalah Wakil Ketua DPR. “Ini bukan foya-foya, tapi efesiensi dan kewibawaan.” Memang, selama republik berdiri, Indonesia belum pernah punya pesawat kepresidenan (Lihat Burung Besi Istana). Kalau melawat ke luar negeri, presiden selalu pakai pesawat sewa.
Hal itu lalu menjadi pertimbangan para anggota fraksi, dan mereka sepakat membeli burung besi buat perjalanan presiden. Tapi, para anggota Dewan hanya memberikan pertimbangan. Keputusan akhir ada di tangan Presiden SBY.
Soal harus beli pesawat, sebenarnya tak hanya urusan wibawa. Ada alasan lain, yang datang dari bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada Juni 2006, Kalla mewacanakan perlunya pesawat khusus kepresidenan diganti. Ide itu disuarakan setelah pesawat Fokker 28 TNI AU, yang ditumpanginya mengalami kerusakan pada kaca kokpit.
Wacana itu lalu bersambut lebih setengah tahun kemudian, pada rapat Setneg dan Komisi II DPR 6 Februari 2007. Ketua Komisi II, EE Mangindaan, bersama Priyo, meminta pemerintah segera membeli pesawat kepresidenan. Apalagi pada 2007, anggaran sewa pesawat kepresidenan melonjak menjadi Rp 175 miliar. “Presiden kan harus punya pesawat, karena ini kan di sewa, kan sayang, sedangkan anggarannya sama, sekian tahun kita memiliki pesawat sendiri. Itu saja,” kata Mangindaan yang kini adalah Menteri PAN kepada VIVAnews.
Namun waktu itu Yusril menolaknya. "Kalau beli sih kita setuju-setuju saja tapi kita belum punya anggaran untuk itu," katanya waktu itu. Yusril kembali mengemukakan alasan biaya operasional yang mencapai US$ 8 juta,atau sekitar Rp 80 miliar per tahun.
Lagi pula kondisi negara waktu itu tak tepat beli pesawat. "Nanti ada yang bilang rakyat kebanjiran kok presiden beli pesawat," katanya kepada wartawan waktu itu. Rapat berakhir dengan kesimpulan, Komisi II mendukung menyewa pesawat khusus. Ada catatan tambahan: bila keuangan memungkinkan, maka diusulkan membeli pesawat kepresidenan.
Dua tahun kemudian, ide beli pesawat buat presiden muncul lagi saat Hatta Radjasa menjabat Menteri Sekretaris Negara. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada Senin 1 Juni 2009, Hatta menyampaikan dilema membeli pesawat. “Di satu sisi akan menuai gejolak, di sisi lain biaya sewa cukup buat beli,” katanya. Karena itu, pagu anggaran sewa akan digunakan untuk membeli pesawat. Tapi anggaran itu tampaknya belum menyinggung biaya lain: perawatan, pengelolaan, awak pesawat, dan hangar.
Belakangan, ide itu meluncur lagi. Dua bulan lalu, ada rapat dihadiri Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Perhubungan, Direktur Utama Garuda dan Kepala Staf Angkatan Udara. Mereka membahas pesawat mana yang cocok buat kondisi Indonesia.
Memang, ada diskusi tentang model yang dipakai negara lain. Tapi, tak jelas, apakah dalam rapat itu terlintas pengalaman Singapura. Perdana Menteri negeri jiran yang kaya itu, ternyata lebih suka pakai pesawat sewa ketimbang membeli.
Pilihan justru jatuh pada model yang digunakan Presiden Afrika Selatan. Pesawat yang dipilih adalah jenis Boeing 737-800 NG, spek yang dipakai tak lain dari jenis BBJ (Boeing Bussines Jet). Harganya US$ 72 juta. Belakangan, Sudi Silalahi menyebutnya US$ 85,4 juta. Ini harga untuk pesawat dengan total interior kepresidenan. Adapun pesawat sama edisi standar berharga US$ 52-55 juta.
Pemerintah rupanya sudah berkontak dengan Boeing. Pabrik pesawat milik Amerika itu melakukan penawaran khusus. Dikatakan, ada satu pesawat Boeing yang sudah siap pakai. Ini pesawat pesanan negara lain, yang pembeliannya tertunda. Boeing bisa mengalihkan pesawat itu ke Indonesia asal membayar panjar Rp 200 miliar.
Itulah sebabnya, dalam rapat dengan Komisi II DPR pada 3 November 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani minta dewan menyetujui uang panjar pembelian Boeing senilai Rp 200 miliar. Rencananya pembelian pesawat ini akan terwujud pada 2011. “Kami menyetujuinya,” kata salah seorang anggota Komisi Anggaran, Harry Azhar Azis, yang juga Ketua Badan Anggaran.
***
MUNGKIN karena digoyang angin perkara Bank Century, ide membeli pesawat pada 2010 ini lalu menjadi tak tentu arah. Harry Azis yang dulunya setuju, kini pun mengeluh. Permintaan anggaran oleh Sri Mulyani itu disebutkan tanpa rincian detail pembelian pesawat. “Terus terang, waktu itu pembicaraan kurang begitu jelas. Tak transparan,” kata politisi Partai Golkar ini.
Dari soal kebutuhan, soal pembelian pesawat bisa beralih ke isu politik. Apakah rencana itu akan kembali lolos di DPR? “Segala kemungkinan bisa terjadi,” kata Harry. “Beberapa fraksi sudah menyatakan menolak, atau minimal menunda pembelian pesawat itu.”
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, mengakui bahwa DPR periode 2004-2009 dia sepakat dengan pembelian pesawat kepresidenan. “Meski disetujui, tetap bisa dibatalkan. Ini uji sensitifitas. Kalau DPR merasa tak lagi sesuai kemudian di-delete, sah-sah saja,” katanya.
Apalagi, kata dia, pembelian pesawat kepresidenan juga belum dilakukan. Kabar dari Setneg, panjar Rp 200 miliar itu belum jatuh ke tangan Boeing. Sedangkan Fraksi Hanura secara tegas menolak pembelian pesawat itu. “Di satu sisi rakyat masih banyak yang miskin, presidennya malah beli pesawat terbang,” kata Miryam F. Hariano, politisi Hanura yang juga anggota Komisi Anggaran.
Tarik ulur di DPR ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani agak gemas. Dia minta semua pihak harus terbuka. “Nggak usah saling lepas tangan, pada bingung dan ketakutan. Jangan sampai membingungkan. Sudah disetujui, lalu ketika hendak dijalankan kok tak setuju lagi,” katanya. Departemen Keuangan sudah menyediakan uangnya. “Setneg tinggal mengeksekusinya saja.”